KTSP bukan kurikulum baru

Andi Telaumbanua
Oleh : Andi Josua Telumbanua

“Tidak ada yang baru dibawah matahari”, sebuah kalimat bijak yang teryata benar adanya. Sering sekali muncul hal-hal baru di mata kita,tetapi kenyataannya hal itu telah ada pada masa yang lalu. Kejadian itu timbul karena selang waktu yang lama dari kejadian sebelumnya. Bahkan generasi yang terlebih dahulu merasakannya sudah tidak ada lagi pada generasi tertentu yang merasakannya.

Demikian halnya didunia pendidikan,berbagai macam usaha yang dilakukan untuk menemukan bentuk sempurna telah dilakukan yakni dengan penyempurnaan-penyempurnaan kurikulum yang telah + 8 kali sejak tahun 1947 hingga tahun 2006 yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KSTP). Pada awalnya pendidikan formal di Indonesia lahir sejak masuknya penjajah ke tanah air yakni sebelum tahun 1900. Namun tujuan pembentukan pendidikan formal oleh belanda pada waktu itu adalah untuk meminimalisir pemberontakan, karena orang-orang yang bersekolah tersebut diarahkan nantinya hanya menjadi buruh kasar dan pegawai kelas dua.


Keadaan demikian baru berubah setelah tahun 1900. Hal itu disebabkan timbulnya aliran dikalangan orang beranda sendiri yang merasakan bahwa telah tiba waktunya untuk mengembangkan negara yang dijajah.

Sejak saat itulah berbagai lembaga pendidikan/sekolah di Indonesia semakin menjamur,meskipun beberapa sekolah memiliki syarat-syarat tertentu untuk memasukinya. Sehingga terkadang mendiskriminasikan warga Indonesia.

Kebangkitan pendidikan di Indonesia bermula pada berdirinya Taman Siswa pada tanggal 03 Mei 1922 di yogyakarta oleh Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Lahirnya Taman Siswa tersebut untuk merubah pola pendidikan yang dilakukan oleh belanda yakni yang mendasarkan intelektualisme dan verbalistis menjadi mendasarkan pendidikan pada penghidupan rakyat. Sehingga membentuk manusia merdeka segala-galanya,merdeka pikiranya,merdeka batinnya dan merdeka pula tenaganya supaya dapat bermanfaat untuk bangsa dan tanah air dalam rangka menuju masyarakat tertib dan damai.

Untuk mencapai tujuan itu Ki Hajar Dewantara menitikberatkan proses belajar mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator. Dasar pelaksanaan proses ini terletak pada teori konvergensi yang dikemukakan oleh William Stern yaitu perpaduan antara bakat yang dibawa dari kelahiran serta pendidikan yang tepat adalah merupakan cara yang paling tepat dalam proses pembentukan individu didalam masyarakat. Artinya seorang pengajar memberikan kemerdekaan bagi murid dengan cara memfasilitasi agar memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pembelajaran untuk membangun bakat yang dibawa dari lahir tadi.

Proses belajar mengajar yang menitikberatkan pada murid saat ini seolah-olah tuntutan dari KTSP, namun sebenarnya telah dilakukan oleh Taman Siswa pada masa yang lalu,itu dapat dilihat dari penjelasan diatas. Setelah muncunya juga KTSP,hukuman dengan kekerasan semakin di minimalisir. Meskipun itu sebenarnya merupajan tuntutan dari UU Perlindungan Anak. Namun menjadi identik dengan pelaksanaan KTSP. Hal demikian juga sudah ada di Taman Siswa yakni melalui sistem among yang mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan. Karena akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem among tersebut dilaksanakan dengan “Tut Wuri Handayani”. Kalimat tersebutlah yang saat ini menjadi semboyan pendidikan di Indonesia, yang memiliki makna “Ketika berada dibelakang harus mampu mendorong orang-orang dan/atau pihak-pihak yang dipimpinnya.

KTSP juga menitikberatkan pada satuan pendidikan/sekolah untuk menyusun sendiri kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan sekolah tersebut dengan visi dan misi ditentukan oleh pihak-pihak sekolah seperti: kepala sekolah,komite dll. Hal itu juga sebenarnya dilakukan oleh Taman Siswa pada masa itu,meskipun didasari kondisi masa penjajahan belum ada acuan secara nasional tentang pendidikan. Namun tujuan Taman Siswa jelas membuat perubahan dari pola pendidikan pada masa penjajahan dengan terfokus pada kebutuhan saat itu.

Berdasarkan keterangan inilah dapat disimpulkan bahwa KTSP bukan bentuk kurikulum baru. Namun kurikulum yang kembali menggunakan pola pada Taman Siswa. Meskipun saat ini pelaksanaa6ya disekolah-sekolah belum sepenuhnya. Karena masih dipengaruhi dengan budaya pendidikan yang lama bahkan cara-cara penjajah dulu dalam pelaksanaan pendidikan yakni lebih mengutamakan intelektualisme dan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Padahal seharusnya kecerdasan(intelektualisme) harus seimbang dengan faktor-faktor lainnya(kepribadian).

Oleh karena itu guna menyempurnakan pola pendidikan di Indonesia ada baiknya pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara dan konsep pada Taman Siswanya diambil untuk ditiru,modifikasi dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini. Tetapi tidak merubah azas keseimbangannya yang anti Intelektualisme.


(Penulis Wakil Ketua Bidang Kaderisari DPC GmnI Nias Periode 2008-2010)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)