Oleh : Mei’aro Halawa
Dilingkungan tempat tinggal saya, ada sebuah tempat yang salah dikerumuni oleh orang-orang yang berdekatan maupun orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari kompleks tempat tersebut. Setiap hari bahkan malam haripun orang salalu berantrian untuk mengisi kursi-kursi yang ada ditempat itu. Tempat itu sering dikenal orang dengan sebutan warung tuak atau sering diistilahkan “kantor kerugian”. Kenapa di istilahkan kantor kerugian? Karena semua orang yang bertahan singgah ditempat itu tidak pernah beruntung melainkan hanya membuat dompet mereka semakin tipis dan merusak fisik mereka yang pada hakekatnya adalah bait suci Allah. Namun kegiatan mereka setelah berada di tempat itu adalah mabuk-mabukan dan menjadikan uang mereka jadi asap rokok. Betapa disayangkan perbuatan seperti itu.
Anehnya yang sering menempati kantor kerugian tersebut adalah Mahasiswa IKIP Gunungsitoli yang dalam tanda kutip kader-kader pendidik yang menjadi primadona masyarakat Pulau Nias. Mahasiswa yang menyukai tempat itu tidak pernah berdialetika bahwa disekeliling tempat itu adalah masyarakat yang mengharapkan mahasiswa ini kedepan adalah orang-orang yang mampu memanusiakan anak-anak mereka kelak, tetapi justru di mata masyarakat reputasi mahasiswa itu pudar. Menjadi kebaggan bagi mereka ketika mereka memasuki tempat tersebut secara beramai-ramai, ketika mereka datang, masuk dan duduk maka jika kita lihat gaya hidup mereka tidak kalah saing ketika anggota dewan sedang rapat. Mereka tidak memikirkan konsekuensi dari perbuatan mereka yang tak terpuji itu.
Mengapakah mahasiswa tersebut yang merupakan kaum-kaum intelektual tidak menyadari salah akan perbuatan mereka yang tak terpuji itu? Mungkinkah perbuatan itu patut di contoh oleh masyarakat yang selama ini selalu diangung-angungkan kehidupan mahasiswa ini kedepan? Mengapa mereka tidak sadar bahwa orang tua mereka di kampung tidak peduli akan musim panas dan musim hujan tetapi mereka mengikat perut dan membanting tulang untuk bekerja hanya untuk memikirkan anak-anak mereka yang sedang kuliah di IKIP Gunungsitoli agar bisa tercukupkan segala kebutuhan dan biaya kuliah mereka.
Itulah kehidupan mahasiswa seperti itu, tidak pernah sadar akan tugas dan tanggungjawab mereka sebagai mahasiswa. Mereka tidak sadar bahwa mereka adalah pemegang tongkat estafet kepemimpinan kedepan. Mereka tidak peduli akan cucuran keringat orang tua mereka di kampung yang sedang bersusah payah mencari kebutuhan mereka. Mereka tidak memanfaatkan uang kiriman orang tua sebagaimana mestinya, tetapi justru mereka gunakan uang tersebut untuk membeli minuman alkohol, membeli rokok dan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan orang tua mereka. Banyak mahasiswa terpengaruh oleh teman-teman mereka yang sudah biasa melakukan hal-hal seperti itu yang pada awalnya hanya mau mencoba-coba namun pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan dan bahkan susah dikendalikan apalagi untuk menghentikannya.
Kalaulah mahasiswa itu tidak mau berubah maka mereka kemungkinan masa depan mereka suram dan sulit membawa perubahan ditengah-tengah masyarakat. Sebaiknya mahasiswa berbuat yang mengandung nilai-nilai positif, mahasiswa bukan yang dipengaruhi tetapi mempengaruhi, bukan dibodoh-bodohi tetapi mampu memberikan pencerahan-pencerahan berupa ide-ide yang cemerlang bagi orang-orang yang sempit pemikirannya. Pada hakekatnya mahasiswa sebagai kaum-kaum intelektual adalah agen-agen perubahan dan menjadi duri teladan bagi orang sekelilingnya yang dimulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungannya.
(Penulis Mahasiswa Pendidikan Matematika ,Wakil Komisaris Bidang Organisasi Komisariat GmnI FPMIPA IKIP Gunungsitoli-Nias)